Cara Budidaya Ikan untuk Ketahanan Nutrisi - Belajar Ternak

Nutrisi Ikan (gambar Ilustrasi: rajasusu.com)

Oleh: Ir Coco Kokarkin Soetrisno, MSc, PhD*
Malnutrisi berarti kekurangan beberapa atau seluruh nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Bentuknya bisa berupa malnutrisi protein dan makanan. Pada abad ke-21 ini kita memang menghadapi persoalan yang saling berseberangan. Bayangkan, selain menghadapi persoalan malnutrisi, ada masalah besar yang berkaitan dengan pangan yakni obesitas alias kelebihan nutrisi. Kedua persoalan itu sama-sama mengancam jiwa manusia.
Akibat malnutrisi, daya tahan tubuh lemas sehingga rentan terserang penyakit. Beragam penyakit berujung kematian seperti diare, malaria, pneumonia, dan campak menyerang penderita malnutrisi. Tingkat kematian karena diare, misalnya, sebesar 61%. Jika ada 100 penderita malnutrisi yang terserang diare, 61 orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan tingkat kematian akibat malaria mencapai 57%, pneumonia 52%, dan campak 5%.
Ikan
Sebetulnya kekurangan nutrisi bisa saja terjadi sejak janin dalam kandungan. Itu lantaran sang ibu kekurangan nutrisi selama hamil. Akibatnya kematian ibu atau anak saat dilahirkan. Selain itu, peluang lahirnya bayi prematur (kelahiran lebih cepat dan bobot di bawah rata-rata) besar. Sekitar 1 dari 6 wanita hamil di negara berkembang melahirkan bayi prematur � bobot tubuh di bawah rata-rata. Dampak lainnya anak bakal mengalami ketidakmampuan menangkap pelajaran, cacat mental, bahkan buta.
Ironisnya lebih dari 70% anak-anak malnutrisi terdapat di Asia. Bandingkan dengan kekurangan nutrisi di Afrika, yang �cuma� 26% serta Amerika Latin dan Karibia malah 4%. Mengapa ironis? Benua Kuning merupakan lumbung ikan yang merupakan sumber protein untuk melawan malnutrisi. Pada 2007, hasil budidaya perikanan di Asia Pasifik mencapai 59,7-juta ton setara 91,4% dari seluruh produksi ikan dunia. Tiga puluh tahun mendatang kebutuhan ikan meningkat sampai 30-juta ton. Peningkatan permintaan terbesar berasal dari China dan Vietnam.
Ketersediaan nutrisi, terutama protein, dapat diperoleh dengan mengkonsumsi ikan tawar dan ikan laut. Lele Clarias sp, misalnya, mengandung 17 � 20% protein. Setiap 100 g daging tuna Thunnus sp memiliki 22,6 � 26,2 g protein dan udang mentah mengandung 20,3 g protein per 100 g daging. Bukan hanya protein, ikan juga mengandung mikronutrien, mineral, dan minyak esensial yang penting bagi tubuh.
Sejatinya kebutuhan pangan manusia dapat terpenuhi dengan memanfaatkan 2% wilayah laut dunia. Itu sebabnya mengkonsumsi ikan dapat mencegah malnutrisi. Isu itu yang diangkat padaGlobal Conference on Aquaculture, 22 � 25 September 2010, di Phuket, Thailand. Pertemuan 10 tahunan itu dihadiri pakar akuakultur dan praktisi pakan dunia. Semua berkumpul untuk menentukan langkah antisipasi ketahanan nutrisi, arah penelitian, dan kebijakan pemerintah. Tentunya disesuaikan dengan kondisi aktual di lapangan.
Pemenuhan protein ikan dapat diperoleh dari hasil budidaya dan tangkapan alam. Ikan tangkapan sangat mengandalkan ketersediaan di alam yang terus merosot. Itu sebabnya budidaya menjadi jalan keluar pemenuhan protein ikan. Itu tampak dari perbandingan fish in fish out (FIFO) � ikan tangkap dan budidaya � yang turun menjadi 0,52. Sepuluh tahun lalu FIFO sebesar 5 kg. Artinya kini dari 1 ton ikan tangkap ada 1,92 ton ikan hasil budidaya.
Namun sayang pada ikan laut seperti sidat Anguilla sp, salmon, kerapu Epinephelus sp, dan udang nilai FIFO masih tinggi, di atas 1. Itu lantaran belum ditemukan teknologi yang efektif dan efisien pada budidaya ikan laut.
Perubahan cuaca
Budidaya perikanan membuat ketersediaan ikan meningkat. Dampak positifnya, selain memenuhi kebutuhan protein manusia, ikan budidaya dapat diolah menjadi tepung ikan. Pada 2007 tepung ikan berasal dari ikan budidaya sebanyak 60,87% dari produksi tepung ikan dunia. Sisanya protein diambil dari tepung kedelai, sebanyak 25,1%. Tepung ikan berperan menyediakan protein bagi ikan. Efeknya asupan protein manusia ikut meningkat.
Selain tepung ikan dan kedelai, para peternak dapat memanfaatkan magot sebagai sumber protein untuk ikan. Magot alias larva kumbang mengandung protein tinggi, yakni 43,3 � 46,7%. Biaya untuk memperoleh larva itu relatif murah karena peternak dapat menumbuhkan di limbah kelapa sawit. Peternak tinggal memfermentasi limbah sawit. Setelah itu peternak dapat memanen larva.
Meski demikian budidaya ikan bukan tanpa kendala. Saat ini pemanasan global menyebabkan pemukaan laut naik. Pada 2030, misalnya, permukaan air laut diramalkan naik sampai 40 cm. Dampaknya luas daratan semakin berkurang sehingga lokasi budidaya, khususnya ikan tawar, terbatas.
Contohnya Bangladesh, pada 2010 negara berpenduduk 130-juta jiwa itu bakal kehilangan 40% wilayahnya. Pun Delta Mekong yang dihuni 21-juta jiwa, kehilangan lahan pertanian dan budidaya air tawar seperti patin. Indonesia juga terancam kehilangan 2.000 pulau.
Oleh karena itu mau tak mau pola budidaya harus berubah. Yang utama menghasilkan ikan yang toleran terhadap perubahan salinitas atau kadar garam. Harap mafhum, salinitas air payau dan laut dapat mencapai 15 � 30 ppt. Para pembudidaya juga harus mampu menciptakan jenis unggul yang memiliki pertumbuhan cepat dan fekunditas (kemampuan reproduksi) tinggi.
Pilihan lain mengembangkan produk-produk yang memang toleran terhadap garam seperti mangrove dan rumput laut. Kita meski menjaga kedua kekayaan itu sebagai plasma nutfah. Masyarakat harus memahami bahwa budidaya perikanan juga dapat mencemari lingkungan. Musababnya selama budidaya tercipta carbon food print atau karbon dioksida (CO2) sebanyak 70%. Angka itu hampir setara dengan budidaya unggas. Sebagai contoh setiap 1 kg protein ikan mengeluarkan 2 kg CO2.
Angka itu berbanding terbalik dengan rumput laut dan moluska. Kedua komoditas itu menghasilkan carbon foot print sangat rendah. Uniknya, rumput laut dan moluska ikut menyerap CO2. Semua perbaikan dan sertifikasi itu diharapkan mampu meningkatkan ketahanan nutrisi. Memang program perbaikan genetik dan introduksinya dikhawatirkan bakal menurunkan keragaman genetik di daerah asal. Itu sebabnya teknologi budidaya harus mengikuti perubahan lingkungan tanpa menggusur keragaman plasma nutfah di tempat asal.***
*) Kepala Balai Budidaya Air Payau Ujong Batee, Nanggroe Aceh Darussalam
[Sumber: Trubus-Online]